Masjid Tiang (Saka) Tunggal terletak di Desa Pekuncen, Kecamatan Sempor, Kabupaten Kebumen Provinsi Jawa Tengah. Masjid yang berlokasi sekitar 15 kilometer sebelah utara Kota Gombong tersebut merupakan salah satu tempat wisata religi yang berada di Kebumen. Sebuah Masjid megah yang dipercaya merupakan salah satu masjid tertua di Kabupaten Kebumen. Masjid Tiang (Saka) Tunggal didirikan pada tahun 1722 oleh Bupati Kendurean, putra Adipati Mangkuprojo, seorang Wrongko Dalem Keraton Kartosuro. Karena tiang (saka) guru masjid hanya satu, masjid ini dikenal dengan sebutan Masjid Tiang (Saka) Tunggal.
Masjid Tiang (Saka) Tunggal sebagai benda cagar budaya merupakan warisan budaya yang mempunyai nilai penting bagi ilmu pengetahuan maupun sejarah kebudayaan bangsa. Warisan budaya tersebut sangat berguna bagi pendidikan, yaitu sebagai wahana dalam memupuk rasa nasionalisme dan memperkokoh kesadaran jatidiri bangsa. Masjid yang dapat dijangkau dengan menggunakan kendaraan pribadi (mobil atau motor) ataupun becak bahkan delman yang terdapat di sekitar Pasar Wonokriyo, Gombong.
Tiang (Saka) tunggal mengandung filosofi yang dalam, saka tunggal melambangkan keesaan Allah SWT sebagai sang pencipta tunggal alam semesta. Makna tunggal tersebut diterjemahkan dengan memaknai masjid soko tunggal tersebut sebagai tempat untuk meyakini bahwa Allah itu Tunggal atau Esa. Sedangkan dalam kaitannya dengan sejarah perjuangan, masjid itu juga sebagai simbol satu tekad untuk mengusir penjajah dari bumi Indonesia.
Sejarah Masjid Tiang (Saka) Tunggal tak bisa dilepaskan dari sosok Adipati Mangkuprojo. Pada tahun 1700, Adipati Mangkuprojo merupakan tokoh yang gigih melawan penjajah. Karena terdesak dia melarikan diri dan memilih bergerilya di daerah Pekuncen. Daerah tersebut merupakan daerah Keputihan. Selain bergerilya, Adipati Mangkuprojo juga giat syiar Islam.
Kisah yang disampaikan sesepuh Desa Pekuncen menyebutkan bahwa, pada tahun 1719 Adipati Mangkuprojo wafat. Sebelum meninggal, beliau berwasiat pada putranya untuk dimakamkan di Pekuncen. Memperingati 1.000 hari meninggalnya Adipati didirikanlah masjid tersebut.
Pembangunan masjid tersebut diketuai Demang Sembilan (demang dianggap sebagai ketua desa saat itu) yang terdiri dari Kyai Jrabang dari wetan, Kyai Tanah Kunci, Kyai Brangkal, Kyai Karangasem, Kyai Pekuncen, Kyai Semanding, Kyai Gumeng, Kyai Jatinegara, dan Kyai Tegalsari.
Konon, kerangka masjid disusun di Keraton Kartosuro, kemudian baru dibawa ke Pekuncen dengan berjalan kaki. Komponen masjid yang dibawa antara lain, yaitu satu tiang (soko), dua kayu yang melintang di atas, dan empat danyang (kayu penyangga kayu yang melintang di atas).
Masjid ini memiliki keunikan tersendiri. Umumnya masjid biasanya ditopang oleh empat tiang sebagai penyangga utama bangunan. Sesuai namanya maka masjid ini hanya ditopang oleh satu tiang saja. Tiang tunggal sebagai penopang utama bangunan ini berbentuk segi empat dengan ukuran 30 x 30 cm. Tiang setinggi sekitar empat meter tingginya.
Di bagian atas soko guru tersebut terdapat empat batang kayu melintang sebagai penyangga utama bangunan masjid tersebut. Di tengah-tengah tiang terdapat empat skur untuk membantu menyangga kayu-kayu yang ada di atasnya. Kayu yang digunakan sebagai soko tersebut merupakan kayu jati pilihan. Kecuali tiang (saka) tunggal dan skur tersebut, banguan lain di masjid tersebut telah direnovasi.
Pada awal pendirian, atap masjid dibuat menggunakan ijuk dan dindingnya menggunakan tabak bambu. Kurang lebih seabad kemudian yakni tahun 1822 dilaksanakan rehab bangunan atap yang semula ijuk diganti dengan atap genteng. Tetapi dindingnya masih menggunakan tabak bambu.
Baru pada tahun 1922, dinding bambu diganti dengan bangunan tembok batu bata. Bangunan masjid tersebut saat ini ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya yang dilindungi.
Di lokasi Masjid juga terdapat situs sejarah yang lain, yaitu makam keluarga Adipati Mangkuprojo berjarak kurang lebih 300 m arah utara masjid. Makam tersebut pada tahun 1985 direnovasi oleh keluarga Sumitro Djoyohadikusumo (begawan ekonomi Indonesia). Tidak mengherankan jika setiap bulan ruwah dalam penanggalan Islam, keluarga Sumitro Djoyohadikusumo pasti datang berziarah ke makam ini.
Bupati dari Kadipaten Kebumen dan Banyumas yang dimakamkan di Pekuncen. Dari Banyumas antara lain : Raden Banyak Wide, Raden Banyak Ngampar, Banyak Tontro dan beberapa keluarganya dan abdinya. Sedangkan dari Kebumen adalah Raden Kolopaking I – IV, juga Bupati Pertama Kebumen yang memasuki masa Republik adalah Raden Sukadis.
Masjid Tiang (Saka) Tunggal sebagai benda cagar budaya merupakan warisan budaya yang mempunyai nilai penting bagi ilmu pengetahuan maupun sejarah kebudayaan bangsa. Warisan budaya tersebut sangat berguna bagi pendidikan, yaitu sebagai wahana dalam memupuk rasa nasionalisme dan memperkokoh kesadaran jatidiri bangsa. Masjid yang dapat dijangkau dengan menggunakan kendaraan pribadi (mobil atau motor) ataupun becak bahkan delman yang terdapat di sekitar Pasar Wonokriyo, Gombong.
Tiang (Saka) tunggal mengandung filosofi yang dalam, saka tunggal melambangkan keesaan Allah SWT sebagai sang pencipta tunggal alam semesta. Makna tunggal tersebut diterjemahkan dengan memaknai masjid soko tunggal tersebut sebagai tempat untuk meyakini bahwa Allah itu Tunggal atau Esa. Sedangkan dalam kaitannya dengan sejarah perjuangan, masjid itu juga sebagai simbol satu tekad untuk mengusir penjajah dari bumi Indonesia.
Sejarah Masjid Tiang (Saka) Tunggal tak bisa dilepaskan dari sosok Adipati Mangkuprojo. Pada tahun 1700, Adipati Mangkuprojo merupakan tokoh yang gigih melawan penjajah. Karena terdesak dia melarikan diri dan memilih bergerilya di daerah Pekuncen. Daerah tersebut merupakan daerah Keputihan. Selain bergerilya, Adipati Mangkuprojo juga giat syiar Islam.
Kisah yang disampaikan sesepuh Desa Pekuncen menyebutkan bahwa, pada tahun 1719 Adipati Mangkuprojo wafat. Sebelum meninggal, beliau berwasiat pada putranya untuk dimakamkan di Pekuncen. Memperingati 1.000 hari meninggalnya Adipati didirikanlah masjid tersebut.
Pembangunan masjid tersebut diketuai Demang Sembilan (demang dianggap sebagai ketua desa saat itu) yang terdiri dari Kyai Jrabang dari wetan, Kyai Tanah Kunci, Kyai Brangkal, Kyai Karangasem, Kyai Pekuncen, Kyai Semanding, Kyai Gumeng, Kyai Jatinegara, dan Kyai Tegalsari.
Konon, kerangka masjid disusun di Keraton Kartosuro, kemudian baru dibawa ke Pekuncen dengan berjalan kaki. Komponen masjid yang dibawa antara lain, yaitu satu tiang (soko), dua kayu yang melintang di atas, dan empat danyang (kayu penyangga kayu yang melintang di atas).
Masjid ini memiliki keunikan tersendiri. Umumnya masjid biasanya ditopang oleh empat tiang sebagai penyangga utama bangunan. Sesuai namanya maka masjid ini hanya ditopang oleh satu tiang saja. Tiang tunggal sebagai penopang utama bangunan ini berbentuk segi empat dengan ukuran 30 x 30 cm. Tiang setinggi sekitar empat meter tingginya.
Di bagian atas soko guru tersebut terdapat empat batang kayu melintang sebagai penyangga utama bangunan masjid tersebut. Di tengah-tengah tiang terdapat empat skur untuk membantu menyangga kayu-kayu yang ada di atasnya. Kayu yang digunakan sebagai soko tersebut merupakan kayu jati pilihan. Kecuali tiang (saka) tunggal dan skur tersebut, banguan lain di masjid tersebut telah direnovasi.
Pada awal pendirian, atap masjid dibuat menggunakan ijuk dan dindingnya menggunakan tabak bambu. Kurang lebih seabad kemudian yakni tahun 1822 dilaksanakan rehab bangunan atap yang semula ijuk diganti dengan atap genteng. Tetapi dindingnya masih menggunakan tabak bambu.
Baru pada tahun 1922, dinding bambu diganti dengan bangunan tembok batu bata. Bangunan masjid tersebut saat ini ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya yang dilindungi.
Di lokasi Masjid juga terdapat situs sejarah yang lain, yaitu makam keluarga Adipati Mangkuprojo berjarak kurang lebih 300 m arah utara masjid. Makam tersebut pada tahun 1985 direnovasi oleh keluarga Sumitro Djoyohadikusumo (begawan ekonomi Indonesia). Tidak mengherankan jika setiap bulan ruwah dalam penanggalan Islam, keluarga Sumitro Djoyohadikusumo pasti datang berziarah ke makam ini.
Bupati dari Kadipaten Kebumen dan Banyumas yang dimakamkan di Pekuncen. Dari Banyumas antara lain : Raden Banyak Wide, Raden Banyak Ngampar, Banyak Tontro dan beberapa keluarganya dan abdinya. Sedangkan dari Kebumen adalah Raden Kolopaking I – IV, juga Bupati Pertama Kebumen yang memasuki masa Republik adalah Raden Sukadis.
Advertisement