Masjid Tiang (Saka) Tunggal terletak di desa Cikakak kecamatan Wangon, Kabupaten Banyumas, provinsi Jawa Tengah. Masjid ini dibangun pada tahun 1288 seperti yang tertulis pada tiang (Saka) Guru (Tiang Utama) masjid ini. Setiap tanggal 27 Rajab di masjid ini diadakan pergantian pagar (Jaro) dan pembersihan makam Kyai Mustolih. Masjid yang berjarak ± 30 km dari kota Purwokerto ini, disebut Tiang (Saka) Tunggal karena tiang penyangga bangunan masjid ini, dulunya hanya satu tiang (tunggal).
Nama resmi masjid ini adalah masjid Tiang (Saka) Tunggal Baitussalam, tapi lebih populer dengan nama masjid tiang (Saka) Tunggal. Tiang (saka) tunggal yang berada di tengah bangunan utama masjid, tiang dengan empat sayap ditengahnya yang akan nampak seperti sebuah totem, bagian bawah dari tiang itu dilindungi dengan kaca guna melindungi bagian yang terdapat tulisan tahun pendirian masjid tersebut.
Masjid ini berukuran 12 x 18 meter ini menjadi satu satunya masjid di pulau Jawa yang dibangun jauh sebelum era Wali Sembilan (Wali Songo) yang hidup sekitar abad 15-16M. Sedangkan masjid ini didirikan tahun 1288M, 2 abad sebelum Wali Songo. Sekaligus menjadikan Masjid inil Baitussalam sebagai Masjid Tertua di Indonesia.
Masjid ini berada ditengah suasana pedesaan Jawa yang begitu kental. Di kawasan masjid yang dipenuhi dengan kera-kera yang berkeliaran bebas. Di masjid ini terdapat beberapa ruang. Halaman masjid cukup luas untuk menampung beberapa kendaraan. Di depan halaman masjid, sudah disediakan tempat berwudhu dan kamar mandi. Dari jalan raya menuju pintu gerbang masjid ini cukup jauh letaknya berada diantara rumah rumah penduduk. Kawasan ini memang sudah menjadi cagar budaya, dibelakang masjid ini terdapat komplek pemakaman tua dengan gerbangnya yang masih bertuliskan aksara Jawa. Makam yang secara rutin dikunjungi oleh warga muslim setempat.
Sejarah Masjid
Berdasarkan ceritera nara sumber yaitu KGPH Dipo Kusumo dari Keraton Surakarta Hadiningrat dan Drs. Suwedi Montana , seorang peneliti Arkeologi Islam dari Puslit Arkenas Jakarta pada tanggal 29 Januari 2002 dijelaskan sebagai berikut :
Sunan Panggung adalah salah seorang dari kelompok Wali sanga yang merupakan murid Syech Siti Jenar. Sunan Panggung meninggal pada masa pemerintahan Sultan Trenggono di Demak Bintoro antara tahun 1546-1548 M. Menurut Serat Cabolek, Sunan Panggung dihukum dengan cara dibakar atas kesalahannya menentang suatu syariat. Namun demikian dalam hukumannya tersebut ia tidak mati, bahkan saat pada saat itu mampu menulis suluk yang kemudian dikenal dengan sebutan Suluk Malangsumirang.
Sunan Panggung menurunkan anak bernama Pengeran Halas. Pangeran Halas menurunkan Tumenggung Perampilan. Tumenggung Perampilan menurunkan Kyai Cikakak. Kyai Cikakak menurunkan Resayuda. Kyai Resayuda menurunkan Ngabehi Handaraka, dan Ngabehi Handaraka menurunkan Mas Ayu Tejawati, Istri Amangkurat IV, yang menurunkan Hamengkubuwana, Raja Ngayogyakarta Hadiningrat.
Kyai Cikakak yang merupakan keturunan ketiga Sunan Panggung tidak diketahui nama aslinya. Nama Kyai Cikakak diperkirakan merupakan sebutan, karena ia bertempat tinggal di Desa Cikakak. Di Desa inilah Kyai Cikakak mendirikan sebuah masjid dengan keunikan tersendiri, yaitu dengan tiang utama tunggal yang masih lestari hingga saat ini.
Masjid ini di bangun di tempat suci Agama Kuno (agama yang berkembang sebelum masuknya agama Hindu Budha) yang dapat dibuktikan di sekitar masjid terdapat sebuah batu menhir yang merupakan tempat untuk kegiatan ritual : agama kuno, dibangun pada tahun 1522 M. Di sekitar tempat ini terdapat hutan pinus dan hutan besar lainnya yang di huni oleh ratusan ekor kera yang jinak dan bersahabat, seperti di Sangeh Bali.
Saat ini tersebut belum kehilangan sama sekali wajah aslinya. Bedanya, gebyok kayu dan gedek bambu yang semula menjadi dinding masjid ini telah diganti dengan tembok.
Salah satu tampilan asli masjid ini yang belum hilang adalah tiang tunggal di tengah-tengah bangunan masjid. Tiang tunggal tersebut dibuat dari galih kayu jati berukir motif bunga warna-warni. Di bagian pangkal berdiameter sekitar 35 sentimeter. Tiang ini berdiri hingga di atas atap yang berbentuk limas, seperti atap pada Masjid Agung Demak. Salah satu keunikan lain Masjid ini adalah keberadaan empat buah sayap dari kayu di tengah tiang.
Masjid tersebut, empat sayap yang menempel di tiang tersebut melambangkan empat kiblat lima pancer, atau empat mata angin dan satu pusat. Empat kiblat lima pancer berarti manusia sebagai pancer dikelilingi empat mata angin yang empat. Mata angin itu berarti bahwa hidup manusia harus seimbang. Jangan terlalu banyak air bila tak ingin tenggelam, jangan banyak angin bila tak mau masuk angin, jangan terlalu bermain api bila tak mau terbakar, dan jangan terlalu memuja bumi bila tak ingin jatuh. Hidup itu harus seimbang. (source:banyumaskab.go.id)
Desa Cikakak, Kecamatan Wangon Banyumas
Kabupaten Banyumas, Propinsi Jawa Tengah
Nama resmi masjid ini adalah masjid Tiang (Saka) Tunggal Baitussalam, tapi lebih populer dengan nama masjid tiang (Saka) Tunggal. Tiang (saka) tunggal yang berada di tengah bangunan utama masjid, tiang dengan empat sayap ditengahnya yang akan nampak seperti sebuah totem, bagian bawah dari tiang itu dilindungi dengan kaca guna melindungi bagian yang terdapat tulisan tahun pendirian masjid tersebut.
Masjid ini berukuran 12 x 18 meter ini menjadi satu satunya masjid di pulau Jawa yang dibangun jauh sebelum era Wali Sembilan (Wali Songo) yang hidup sekitar abad 15-16M. Sedangkan masjid ini didirikan tahun 1288M, 2 abad sebelum Wali Songo. Sekaligus menjadikan Masjid inil Baitussalam sebagai Masjid Tertua di Indonesia.
Masjid ini berada ditengah suasana pedesaan Jawa yang begitu kental. Di kawasan masjid yang dipenuhi dengan kera-kera yang berkeliaran bebas. Di masjid ini terdapat beberapa ruang. Halaman masjid cukup luas untuk menampung beberapa kendaraan. Di depan halaman masjid, sudah disediakan tempat berwudhu dan kamar mandi. Dari jalan raya menuju pintu gerbang masjid ini cukup jauh letaknya berada diantara rumah rumah penduduk. Kawasan ini memang sudah menjadi cagar budaya, dibelakang masjid ini terdapat komplek pemakaman tua dengan gerbangnya yang masih bertuliskan aksara Jawa. Makam yang secara rutin dikunjungi oleh warga muslim setempat.
Sejarah Masjid
Berdasarkan ceritera nara sumber yaitu KGPH Dipo Kusumo dari Keraton Surakarta Hadiningrat dan Drs. Suwedi Montana , seorang peneliti Arkeologi Islam dari Puslit Arkenas Jakarta pada tanggal 29 Januari 2002 dijelaskan sebagai berikut :
Sunan Panggung adalah salah seorang dari kelompok Wali sanga yang merupakan murid Syech Siti Jenar. Sunan Panggung meninggal pada masa pemerintahan Sultan Trenggono di Demak Bintoro antara tahun 1546-1548 M. Menurut Serat Cabolek, Sunan Panggung dihukum dengan cara dibakar atas kesalahannya menentang suatu syariat. Namun demikian dalam hukumannya tersebut ia tidak mati, bahkan saat pada saat itu mampu menulis suluk yang kemudian dikenal dengan sebutan Suluk Malangsumirang.
Sunan Panggung menurunkan anak bernama Pengeran Halas. Pangeran Halas menurunkan Tumenggung Perampilan. Tumenggung Perampilan menurunkan Kyai Cikakak. Kyai Cikakak menurunkan Resayuda. Kyai Resayuda menurunkan Ngabehi Handaraka, dan Ngabehi Handaraka menurunkan Mas Ayu Tejawati, Istri Amangkurat IV, yang menurunkan Hamengkubuwana, Raja Ngayogyakarta Hadiningrat.
Kyai Cikakak yang merupakan keturunan ketiga Sunan Panggung tidak diketahui nama aslinya. Nama Kyai Cikakak diperkirakan merupakan sebutan, karena ia bertempat tinggal di Desa Cikakak. Di Desa inilah Kyai Cikakak mendirikan sebuah masjid dengan keunikan tersendiri, yaitu dengan tiang utama tunggal yang masih lestari hingga saat ini.
Masjid ini di bangun di tempat suci Agama Kuno (agama yang berkembang sebelum masuknya agama Hindu Budha) yang dapat dibuktikan di sekitar masjid terdapat sebuah batu menhir yang merupakan tempat untuk kegiatan ritual : agama kuno, dibangun pada tahun 1522 M. Di sekitar tempat ini terdapat hutan pinus dan hutan besar lainnya yang di huni oleh ratusan ekor kera yang jinak dan bersahabat, seperti di Sangeh Bali.
Saat ini tersebut belum kehilangan sama sekali wajah aslinya. Bedanya, gebyok kayu dan gedek bambu yang semula menjadi dinding masjid ini telah diganti dengan tembok.
Salah satu tampilan asli masjid ini yang belum hilang adalah tiang tunggal di tengah-tengah bangunan masjid. Tiang tunggal tersebut dibuat dari galih kayu jati berukir motif bunga warna-warni. Di bagian pangkal berdiameter sekitar 35 sentimeter. Tiang ini berdiri hingga di atas atap yang berbentuk limas, seperti atap pada Masjid Agung Demak. Salah satu keunikan lain Masjid ini adalah keberadaan empat buah sayap dari kayu di tengah tiang.
Masjid tersebut, empat sayap yang menempel di tiang tersebut melambangkan empat kiblat lima pancer, atau empat mata angin dan satu pusat. Empat kiblat lima pancer berarti manusia sebagai pancer dikelilingi empat mata angin yang empat. Mata angin itu berarti bahwa hidup manusia harus seimbang. Jangan terlalu banyak air bila tak ingin tenggelam, jangan banyak angin bila tak mau masuk angin, jangan terlalu bermain api bila tak mau terbakar, dan jangan terlalu memuja bumi bila tak ingin jatuh. Hidup itu harus seimbang. (source:banyumaskab.go.id)
Desa Cikakak, Kecamatan Wangon Banyumas
Kabupaten Banyumas, Propinsi Jawa Tengah
Advertisement